Kamis, 27 November 2008

Di Suatu Malam, Yang Sekali Lagi Harus Ku Alami

Tadi malam (26/11), adikku mendapat kecelakaan motor. Ini bukan kali pertama ia mengalaminya. Meskipun lebih parah dari sebelumnya, namun aku dan keluargaku tetap bersyukur karena nyawanya masih bisa terselamatkan. Ketika kabar itu datang langsung dari adikku, jantungku berdebar tak karuan, kaki tanganku pun mendadak lemas membayangkan apa yang terjadi. Pun demikian dengan Ibuku, beliau langsung menangis di pelukanku. Aku sebagai anak pertama di keluargaku dituntut harus bisa menjadi pemimpin dan teladan bagi adik-adikku. Aku anak perempuan satu-satunya tapi aku harus lebih kuat dan tegar dibanding kedua adik laki-lakiku.

Suasana tadi malam sungguh mencekam dan mengharu biru. Bagaimana tidak, disaat aku cemas melihat kondisi adikku yang terluka parah, aku juga harus mampu menenangkan Ibu dan meredam kemarahan Papa. Sungguh tidak enaknya posisiku ini, aku harus tetap tegar di tengah segala ketakutan yang mendera. Tapi, kejadian ini bukan pengalamanku yang pertama, setidaknya ada 3 peristiwa pahit sebelumnya yang menguji ketahanan mentalku, juga pada suatu malam.

Kejadian pertama menimpa adik bungsuku yang mengalami kecelakaan terkena pecahan beling dirumahku. Aku didera perasaan sedih dan gundah luar biasa mengingat ayah ibuku sedang menunaikan ibadah haji ketika itu terjadi. Ahh.. tak terbayangkan bagaimana perasaan hatiku kala adik bungsuku harus menjalani 2 kali operasi besar guna menyambungkan kembali urat tangannya yang terputus. Dokter pun sempat menyatakan bahwa tangan adikku terancam cacat. Aku yang kala itu masih berumur 18 tahun jatuh dalam pergulatan batin yang luar biasa. Untunglah, Allah memudahkan segala urusan kami, dan tangan adikku dinyatakan bisa kembali berfungsi seperti sedia kala.

Hanya berselang 9 bulan dari kejadian tersebut, aku kembali diguncang peristiwa pahit dimana kekasihku pergi untuk selama-lamanya. Inilah titik balik perjalanan hidupku saat kematian akhirnya mampu merubah hidupku menjadi lebih baik. Aku mulai menyadari bahwa hidup ini pasti ada akhirnya. Dan inilah yang selalu menjadi peganganku dalam melakukan apapun. Aku tak ingin menyia-nyiakan hidup yang hanya sebentar ini. Maka, dimulailah kehidupan Firda yang baru, dimana kematian selalu menjadi alarm di setiap hari-harinya. Bukan menjadikan kematian itu sebagai 1 hal menakutkan, tapi menjadikan ia sebagai sesuatu yang wajib diingat agar aku bisa lebih berpikir seribu kali untuk berbuat keburukan.

Terakhir, Oktober lalu nenekku yang mendapat giliran untuk menghadap-Nya. Perasaan sedih luar biasa hinggap di hatiku karena aku tak diberi kesempatan untuk memberikan gaji pertamaku untuknya, mengingat aku masih menjadi pengangguran. Teringat bagaimana beliau menderita dalam sakitnya, terselip pula rasa syukur saat ajal itu datang sebagai satu bentuk kebaikan yang digariskan Allah padanya. Yaa..,meski sedih dan sesal itu masih terus terasa, aku mencoba tetap bersyukur dan berdoa untuknya.

Malam bagiku memberi kesan tersendiri karena ia selalu menjadi saksi dari airmata yang jatuh di pipiku. Ia yang akan tetap memberikan harapan karena mentari selalu hadir setelahnya. Kedatangannya tetap aku tunggu karena ia akan terus memberikan aku kesempatan untuk jauh lebih dekat dengan-Nya, ia juga yang akan menemani tidurku dengan mimpi-mimpi akan hidup dan kematian.

Tidak ada komentar: