Rabu, 26 November 2008

"Lebih Baik!" Semoga Jadi Kenyataan

“Lebih Baik!” Semoga Jadi Kenyataan

Awan mendung mengawali hari pertama di tahun 2008. Hangatnya sinar mentari tak kunjung menyapa pagi ini. Yang ada hanya jalanan basah bekas hujan semalam. Cuaca memang sedang tak menentu satu bulan terakhir, pengaruh global warming, begitulah banyak orang menyimpulkan. Global warming atau pemanasan global, itulah isu dunia saat ini dimana manusia di seluruh belahan bumi sedang dalam ancamannya. Tak pelak, konferensi besar-besaran bertajuk United Nation Framework Conference for Climate Change (UNFCCC) digelar di Bali beberapa waktu lalu guna menemukan jalan keluar menyelamatkan dunia. Apakah cukup hanya dengan sebuah konferensi, hanya dengan sebuah kesepakatan pengurangan emisi gas karbon, dunia bisa terselamatkan? Apakah hanya global warming yang menjadi ketakutan kita semua?Tidak, kawan! Setidaknya itulah yang kulihat di pagi yang sama sekali tidak cerah ini.
Sampah. Kata yang begitu akrab menemani hari-hari Si Pemulung renta itu. Rintik hujan gerimis seolah tak menyurutkan langkahnya mengais rupiah dari bak sampah yang satu ke bak sampah yang lain, hanya untuk tumpukan sisa-sisa kerakusan manusia. Tak ada tanggal merah untuknya. Tak ada pengecualian untuk menghentikan pekerjaannya, meski hanya sejenak, meski hujan dan badai mungkin saja membawa bencana baginya. Tapi apa yang ia dapat dari semuanya? Tak lebih hanya tumpukan sampah, aroma khas yang keluar darinya, dan sepuluh ribu rupiah setiap harinya, duapuluh ribu jika sedang beruntung. Sepuluh ribu rupiah untuk menghidupi dia, istri, dan keempat anaknya, cukupkah? Secara logika pastilah tidak, dan memang tidak. Ia mencoba pasrah, menjalani hidup apa adanya, bukan tak mau merubah nasib, tapi keberuntungan memang belum berpihak padanya. Keberuntungan? Ya, suka tak suka, terima tak terima, faktor inilah yang cukup berpengaruh menentukan jalan hidup kita, khususnya kita sebagai orang Indonesia. Lihat saja lulusan universitas negeri dengan IPK diatas 3.00, memiliki skill yang standar dibutuhkan perusahaan bahkan lebih, giat berusaha, tapi masih saja menganggur. Ada yang salah dari kualitas dirinya? atau mau menyalahkan negara karena terbatasnya lapangan pekerjaan? Bukan pesimis, tapi negara ini memang sudah seperti ini adanya. Satu-satunya alasan yang cukup bijaksana menurut saya adalah the lucky factor belum berpihak padanya. Lupakan tentang pengangguran dan keberuntungan di negara ini. Hal kecil yang ada disekitar kita ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang besar bagi negara ini bahkan manusia diseluruh dunia. Apa yang dilakukan Si Pemulung ini setiap harinya dengan mengangkut sampah dari rumah ke rumah adalah satu hal kecil yang bisa menyelamatkan dunia. Bayangkan jika pria renta ini tak melaksanakan pekerjaannya, bayangkan jika tak ada pemulung yang dengan rela mengangkut sampah-sampah menjijikkan seperti itu, apa yang akan terjadi? Tumpukan sampah akan memenuhi halaman depan rumah kita plus aromanya yang menyengat, lebih jauh dari itu, banjir yang lebih parah akan menimpa kita semua jika sampah itu dibiarkan berbukit. Banjir yang saat ini terjadi di belahan Jawa Tengah dan Timur memang bukan karena para pemulung mogok dari pekerjaan sehari-harinya, alam memang menghendakinya dan Tuhan memang memutuskan bencana itu harus terjadi tapi andai kita mau peduli dengan sampah dan kesejahteraan pemulungnya, mungkin alam tak akan semarah ini.
Disaat semua orang, dibelahan bumi manapun terancam akan global warming dan ini menjadi isu yang sangat menakutkan, tak demikian halnya bagi mereka, para pemulung. Global warming bukanlah ketakutan bagi mereka dan juga orang-orang yang bertitel “miskin” negeri ini. Ketakutan mereka adalah ketika hari ini mereka tak bisa makan, ketika hari ini ancaman gusuran masih saja membayangi, ketika hari ini preman-preman mengintai untuk menagih hasil yang mereka dapat, ketika mereka tak kuasa lagi berharap bahwa hidup akan lebih baik. Mereka masih saja terjajah disaat sebagian orang telah merasa merdeka dan parahnya daftar mereka yang “terjajah” akan semakin bertambah jika kita (yang ditakdirkan lebih baik) masih mengandalkan keserakahan sebagai modal bertahan hidup.
Hari kemarin memang telah berlalu dengan segala kebahagiaan dan kesedihan didalamnya. Yang telah terjadi tak perlu disesali karena hanya akan membuang waktu dan berakhir dengan kesia-siaan. Hidup harus terus berjalan dan hari akan selalu berganti, tak ada kesedihan yang kekal, tak ada kebahagiaan yang pasti. Maka ketika tadi malam gemerlap kembang api menghiasi langit penjuru dunia dan euphoria bahagia merasuk jiwa, ingatlah diluar sana masih ada yang menganggap hari ini akan sama dengan hari kemarin, dan hari esok tak akan lebih baik dari hari ini. Semoga, gemerlap kembang api itu, euphoria itu, kemeriahan itu mampu menularkan aroma optimisme bagi mereka yang terkena musibah, bagi mereka yang tak lagi berani berharap, bagi mereka yang mulai takut bermimpi, dan bagi mereka yang berputus asa. Biarkan kembang api itu membakar semangat mereka yang terlanjur padam dan biarkan nyalanya menerangi hidup mereka meski hanya sejenak. Semoga “tahun ini lebih baik” tak hanya sebuah slogan tapi juga kenyataan.

Tidak ada komentar: