Kamis, 21 Oktober 2010

Seksinya Si Mbak Piar..Aw..Aw..Aw

Minggu lalu aku kebagian jatah liputan di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Biasa, review soal bar & resto. Aku cukup bersemangat hari itu (tumbeeennnn…) karena tempat yang akan aku datangi, menurut referensi teman-teman sih, unik dan asik. Maka berangkatlah aku bersama fotografer, namanya Satria, kesana menggunakan fasilitas mobil kantor.

Sebenernya bukan letaknya yang sulit dijangkau (orang persis di depan Hotel Grand Flora koq) tapi karena nggak ada papan nama atau plang yang menandakan bahwa itu adalah tempat yang kumaksud, jadilah agak ribet tanya sana-sini. Iyalah..meski aku tahu pasti alamatnya bener tapi kalo nggak ada plangnya, yaa..aku juga jadi ragu-ragu. Jadi, biar nggak salah dan malu-maluin, baiknya tanya dulu deh.

Setelah dapat dipastikan, aku pun memasuki tempat itu. Hmm…cukup kagum juga aku melihat setingan interior yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang. Bayangin aja, sempet-sempetnya gitu kepikiran untuk bikin kursi dari krat bekas minuman ringan, lampu dari bekas botol bir, atau asbak dari kaleng softdrink. Udah gitu, uniknya lagi, bangunannya nggak tersusun dari tembok atau batu bata melainkan dari bekas 4 buah kontainer dijadiin satu. Wajar dong kalo aku jadi norak bin kagum?hehehe..Secaraa yaa di Jakarta mana ada tempat kaya begini.

Singkat cerita, aku disuruh menunggu terlebih dahulu oleh waitress disana sebelum bertemu dengan seseorang yang akan aku wawancarai (baca : Mbak Piar). Tak berapa lama muncul-lah seorang wanita berpenampilan seksi (teramat sangat :D), tak terlalu tinggi, dan berwajah cukup cantik.

” Hai, Mba Firda ya? “ sapanya ramah bahkan teramat sangat ramah (hampir lebay ramahnya). Aku pun hanya membalas sapaannya singkat sambil tersenyum. “ Kita mulai aja yuk interview-nya “ katanya dengan nada centil.

Jadilah aku mulai cerewet tuh tanya segala macem tentang tempat ini. Nah, lagi asyik-asyiknya ngobrol, nggak sengaja aku melihat suatu pemandangan yang tidak lazim. Bra (sorry..) Si Mbak Piar-nya tersingkap dibalik dress mini yang bagian atasnya terbuka sangat lebar. Opss..OMG! Ga cuma kesingkap separuh aja tapi juga hampir semua bagian dadanya habis kebuka. Kalo aku boleh nebak, ukuran bra-nya sekitar 36 B. Kebayang dong betapa somlehoy-nya wanita ini. Ckckckck..

Aku, meskipun sesama wanita, tetep aja merasa risih dan salah tingkah berada didepannya. Mau negor, aku nggak enak karena dia semangat banget ceritain tempatnya, nggak negor juga gimana.Aku hanya bisa mengisyaratkan ekspresi wajahku yang bingung. Tapi, bukannya suudzon nih ya, masa sih dia nggak ngerasa kalo baju bagian atasnya terbuka sangat sangat lebar? Nggak berasa gitu ada angin semriwing masuk ke dadanya?Yaudahlah ya mungkin dia emang beneran nggak sadar.

Aku pun coba kembali fokus dengan pertanyaan-pertanyaanku, masih dengan perasaan yang teramat risihnya. Di tengah obrolan, Si Mbak-nya ijin mau kedalem dulu, mau ambil sesuatu katanya. Dia pun beranjak dari sofa dengan kondisi baju bagian atasnya terbuka dan super minim dibagian bawah. Begitu dia pergi, Satria menghampiriku dan berkata,

“ Fir, itu cewek seksi banget ya?Sadar nggak sih dia kalo buah dadanya lagi jadi pusat perhatian? ” tanyanya.

Pikiran Satria nggak jauh beda sama pikiranku. Ku jawab santai, “ Nggak tau juga ya dia sadar apa nggak, tanya aja langsung sama orangnya “ celetukku.

Selang beberapa waktu, Si Mbak Piar kembali, kali ini dia agak merapihkan bajunya, yaa..mendingan sedikit deh, tapi giliran bagian bawahnya yang terangkat cukup ekstrim. Wah..wah..aku semakin tidak nyaman dengan itu, entah dengan Satria yang duduk persis didepannya (posisiku bersebelahan dengan Mbak Piar). Sejenak aku tetap berkonsentrasi dengan daftar pertanyaanku walau berasa risih banget. Kulirikkan mataku kearah Satria, tampak ia sedang asyik membidik kamera sambil sesekali mengintip paha mulus Si Mbak Piar.

Saat sedang berapi-apinya ia menjelaskan keunggulan tempat, ehh..baju bagian atasnya terbuka lagi..kali ini lebih syurrr… Aku berusaha kasih isyarat ke dia kalau bajunya terbuka tapi rupanya ia tak sadar atau pura-pura tak sadar. Udah deh aku semakin nggak nyaman aja dibuatnya. Buru-burulah aku menyelesaikan wawancaraku dan bergegas pergi dari tempat itu. (Giliran Satria deh menggerutu, “ Huhh..ngapain sih buru-buru banget? Kan jarang-jarang tuh dapet pemandangan alamiah begitu!” umpatnya) He?Pemandangan alamiah?Iye enak di elo nggak enak di gue yeee secara gue juga cewek gitu..berasa malunyaaa, kataku dalam hati.

Dalam perjalanan pulang, Satria kembali membahas soal kejadian tadi.

“ Fir, gila ya tu cewek, paraahhh abiss!Menurut lo dia ngerasa nggak sih kalo bra-nya nantangin? “ ujarnya.

Aku rada-rada bingung juga mau jawab apa. Dibilang nyadar tapi koq ngebiarin, dibilang nggak sadar juga mustahil.

“ Nggak tau deh nyadar apa nggak, mungkin nggak sadar kali “ jawabku.

“ Masa nggak nyadar sih, ah..rata-rata yang namanya PR (humas) emang gitu sih, mesti keliatan menarik, tapi yang ini sih, terlalu menarik, semok, seksi, aduhai, gile bener “ timpal Satria.

Sejenak aku merenungi celotehan Satria tentang profesi si Mbaknya sebagai PR sebuah bar & lounge. Apa iya seorang PR perusahaan(khususnya resto, bar, dan lounge) harus berpenamilan segitu seksi bin menariknya untuk men-treat tamu atau wartawan? Aku yang kebetulan kuliah di sekolahannya PR tentu saja mengelakkan pernyataanku sendiri. Tapi fakta di lapangan berkata lain. Sebagai seorang jurnalis, tentu saja aku selalu berhubungan dengan mereka berkaitan dengan berita yang mau aku tulis. Dan sebagian besar PR yang aku temui berpenampilan aduhai seksi somlehoy.

Berdasarkan pengetahuan yang aku dapat waktu kuliah, seorang PR memang wajib menjaga penampilannya karena ia membawa citra perusahaan. Dia yang ada di garda depan sebuah perusahaan, terlebih bila perusahaan itu kena masalah. Tapi pertanyaannya adalah haruskah yang namanya menjaga penampilan itu tadi diwujudkan dalam cara berpakaian yang menurutku berlebihan? Persepsi ‘seksi’ tiap orang kan beda-beda. Be sexy its ok dan aku setuju jika setiap wanita ingin tampil seksi sekaligus cantik. Bagiku, sexy is not bitchy.

Sebenernya nggak penting juga sih ngurusin Si Mbak-nya itu. Mau dia pake rok super mini atau baju yang cuma nyisain seperempat bagian buah dadanya juga terserah dia. Aku merasa kasihan aja sama Mbak-Mbak lainnya yang memiliki profesi serupa tapi menjaga penampilannya tetap sopan. Citra profesinya jadi tercemar cuma gara-gara satu atau beberapa orang PR yang nggak betah pake baju menutupi paha dan dada. Lihat aja gimana Satria berkomentar, profesi PR-nya kan yang dibawa-bawa?Aku tentu saja nggak mau menyalahkan Satria yang punya pendapat seperti itu, setiap orang kan berhak punya pendapat masing-masing. Mungkin juga dia (dan aku) udah terlalu sering menemukan PR yang modelnya begitu.

Selain kasihan sama citra profesi (harap maklum,lulusan almamater kampus PR terkenal), aku juga nggak kalah kasihan sama Si Mbak cantik itu. Tubuh mulusnya jadi komoditas pria-pria yang ia temui. Ya Satria, pegawai restonya, belum lagi kalau dia pergi ke tempat terbuka, wah..makin banyak aja deh yang menikmati keindahan tubuhnya.Hehe..


Mungkin dia merasa bangga bisa memamerkan body-nya yang membuat para pria menelan ludah sambil melotot itu. Mungkin juga dia senang mendapat pujian, “ Wah..dahsyat benar ya payudaramu “ atau, “ Wow, pahamu mulus banget ya “. Hmm..eh, tapi kira-kira dia bakalan senang juga nggak ya kalau ada cowok iseng yang bilang, “ Colek dikit ah, neng “ sambil nyenggol payudaranya?Kalau seneng, yaahh..mungkin dia bakal bilang, “ Boleh bang asal cukup ongkosnya “ hehe..mungkin loh..baru mungkinn.Nah, kalau dia nggak seneng dan malah marah, siap-siap aja dapet celetukan, “ Lah, jangan salahin kite dong, kan situ yang ngasih liat “ hehehe..

Yah..semoga Si Mbak Piar yang aku temui memang benar-benar tak menyadari kalau ‘aset’nya telah dikonsumsi setidaknya oleh 10 orang pria di dalam sana. Jika benar itu yang terjadi, maafkan aku juga ya Mbak karena isyarat mata dan ekspresi wajahku tidak mampu menyadarkanmu. Pun dengan bibirku yang tiba-tiba saja kelu disuguhi shock terapi macam itu.

“ Woiii Firr..udah nyampee..bengong aje lu! “ teriak Satria membuyarkan lamunanku.

Kamis, 07 Oktober 2010

Kisah Tentang Kamera, Si Punux, dan Soto Kudus

Liputanku kali ini terbilang garing alias jayus abis. Tapi, meskipun garing, mudah-mudahan rasanya tetap enak dinikmati oleh anda yang membacanya. Begini ceritanya (kaya prolognya Kismis (Kisah Misteri), pernah noton acaranya kan?kalau nggak salah ditayanginnya di RCTI..hehe). Senin, 4 Oktober 2010, pukul 13.00, aku bergegas menuju Jalan Waluya 1 No.25, Kebayoran, Jakarta Selatan (alamat ini bukan palsu, hanya disamarkan.hehe)menumpang mobil kantor yang disopiri Pak Hamid. Sebelum kesana, aku mampir sebentar ke Grand Indonesia untuk mengembalikan buku sakti-nya sebuah brand pakaian ternama. Harusnya sih buku itu nggak boleh sampai ke pihak luar, terutama aku yang notabene-nya kerja di media massa. Berabe kan kalau bocor?Ahh..untungnya aku bukan tipe wartawan yang ember, bocor sana sini. Jadi, ‘rahasia’ perusahaan itu tetap aman ditanganku. Lagipula, aku hanya menjadikan buku itu sebagai referensi terpercaya (mirip tagline-nya koran rajawali biru..hehe) agar aku tidak salah menyampaikan informasi, bukan untuk disalahgunakan macam-macam. Kebetulannya lagi ( atau emang sengaja pengen narsis), justru si humasnya yang kasih pinjam buku itu, bukan aku yang memintanya. Nah, cerita tentang si humas nekat ini lain kali aku ceritakan. Sekarang aku lanjutkan dulu cerita liputanku ini. 

Begitu selesai urusan di Grand Indonesia, aku siap meluncur ke tempat tujuan utamaku tadi. Belum lama aku masuk mobil, hape bututku berdering, tertera nama Ibon, fotografer kawakan koran rajawali biru. “ Fir, ke Jalan Waluya itu naik angkutan nomor berapa ya? “ tanyanya. “ Wah, aku juga nggak tahu naik apa makanya aku minta mobil kantor, Bang Ibon dimana nih? “ kataku balik bertanya. “ Aku lagi di bank dulu nih bayar utang, gimana nih ya? “ sahutnya makin bingung. Mendengar nada Bang Ibon yang tampak harap-harap cemas, segeralah aku berinisiatif untuk mengajaknya ikut bersama kami. “ Bang Ibon mau bareng aja nggak?Aku tunggu di HI ya “ ujarku. Dengan nada lega Bang Ibon pun mengiyakan tawaranku. Akhirnya kami sepakat janjian disekitar Bunderan HI, tempat tongkrongannya wartawan dan fotografer ibukota.

Meski aku dibekali kamera Nikon seri jadul yang dipinjami kantor, aku selalu mengajak fotografer hampir kemanapun aku bertugas. Tentu ada alasannya. Selain hasil jepretan mas-mas fotografer yang jauh lebih bagus (maklumlah,aku ini biasanya jadi model tok, ndak ngerti kamera.hehe), kehadiran mereka membuat keselamatan diriku agak terjamin (jaminan pasti kan cuma dateng dari Tuhan). Lho??Keselamatan terjamin?Yups. Gara-gara sebuah kamera, aku hampir saja celaka. Saat itu aku dituduh sebagai mata-mata polisi oleh seorang ‘buronan’ yang kebetulan sedang mengadakan lobi-lobi bawah tanah di sebuah restoran tempatku liputan. Cerita lengkapnya nanti saja ya. 

Bicara soal teman-teman fotograferku, Bang Ibon termasuk yang paling senior (lagi-lagi) di koran rajawali biru tempatku bekerja. Tampilan luarnya ‘menyeramkan’. Rambut gondrong sebahu, sesekali diikat kuda, celana jins robek-robek, kulit hitam, lengkap dengan aksesori lainnya mcam gelang dan jam tangan. Gayanya rock n roll. Apalagi kalau dengar suaranya yang lantang, pastilah ia bertambah ‘seram’. Maklum saja, Bang Ibon berasal dari suku Batak yang terkenal dengan gaya bicara meledak-ledak bak petasan. 

Aku dan Bang Ibon termasuk tim yang kompak, bisa saling mengisi dan mengerti. Memang udah seharusnya hubungan antara reporter dan fotografer terjalin harmonis. Pernah suatu kali terjadi kesalahpahaman antara aku dan dia. Dia marah besar (udah pernah liat orang Batak marah?mudah-mudahan jangan.Sereemm banget). Marahnya hanya sebentar tapi cukup membuat jantung mau copot, mungkin karena logat bicaranya yang udah dari sananya begitu. Lantas aku pun minta maaf padanya. Dia maafkan dan kami kembali akur. Begitulah sosok Bang Ibon. Meski gayanya cuek, dia seorang pemaaf dan dewasa. Sebagai rekan kerja, dia kawan yang baik dan dapat diandalkan. Bahkan, aku menganggapnya sebagai kakak. 

Setelah hampir 45 menit menunggu, orang yang baru saja kuceritakan tadi muncul juga. Tak banyak basa-basi, Pak Hamid langsung tancap gas menuju Kebayoran. “ Kita mau ke tempat apa sih, Fir? “ tanya Bang Ibon membuka percakapan. “ Aku juga belum tahu pasti Bang, yang jelas ada dining-nya, lounge, dan bar “ jawabku singkat. “ Wah, berarti makan-makan dong, ya? “ tanyanya lagi. “ Hmm..yaa begitulah “. “ Kebetulan nih aku laper banget belum makan daritadi “ katanya. Aku pun mengamini pernyataan Bang Ibon itu. Nasib kami sama, sama-sama belum makan dan berekspektasi tinggi bisa liputan sambil makan siang. Pak Hamid yang mendengar obrolan kami hanya senyum-senyum saja sambil sesekali berkomentar tentang kepadatan lalu lintas ibukota yang semakin parah. “ Jakarta makin parah aja ya, Mba?Oiya, ngomong-ngomong enaknya kita lewat mana ya? “ ujarnya. Karena aku juga nggak tahu persisnya Jalan Waluya itu dimana maka aku lemparkan pertanyaan itu ke Bang Ibon, mungkin dia tahu. “ Lewat SCBD aja, Pak, tembus Senopati, lebih deket kayanya “ jawab Ayah satu orang anak ini. “ Oke Bang Ibon “ sahut Pak Hamid. 

Mobil pun melaju melewati kawasan SCBD. Agak tersendat tapi tak begitu parah. Selang 30 menit kemudian, kami sudah memasuki daerah Jalan Waluya. Namun, gara-gara Bang Ibon yang sok tahu, jadilah kami sempat berputar-putar akibat salah arah. “ Nah, ini baru bener nih arahnya “ kata Pak Hamid. “ Iya Pak, sorry tadi salah liat “ timpal Bang Ibon. Arah yang dituju sudah benar kini tinggal mencari letak persisnya yakni tempat, rumah, atau gedung nomor 25. Aku celingak celinguk ke kiri dan kanan tapi tak kunjung menemukan tempat yang dimaksud. “ Wah, koq nomor 25-nya nggak ada ya? “ kataku ketika kami sudah hampir diujung perempatan lampu merah arah Mampang. “ Iya nih, kita coba muter lagi ya kayaknya sih kelewat“ ujar Pak Hamid berusaha menenangkanku. Akhirnya setelah dicari sampe muter-muter segala, kami sampai juga di tempat tujuan dengan selamat (pfiuuhhh..). 

Aku memastikan kembali alamatnya.Yup benar disini, Jalan Waluya 1 No.25.Eh, tapi koq dari luar kelihatan sepi-sepi aja padahal setahuku (berdasarkan informasi dari mbah gugel), tempat ini menyediakan fasilitas dining, lounge, dan lain-lain yang mestinya sih, ramai mobil parkir di pelatarannya. “ Fir, bener nih tempatnya disini?Koq sepi banget ya, apa yang mau dipotret nih? “ tanya Bang Ibon kebingungan. Aku yang ditanya juga sama bingungnya. Lah koq sepi-sepi aja nih tempat. Apalagi ditambah dengan adanya papan kecil bertuliskan TUTUP, aku jadi makin bingung. Daripada kelamaan bingung, aku pun segera mengeluarkan hape bututku dan menekan nomornya Mbak Tini (nama samaran, red), si humasnya Punux (sebut saja nama tempat ini begitu, maaf lagi-lagi samaran nih.hehe). “ Halo Mbak Tini, aku udah didepan nih, tapi koq tutup ya, mba ? “ tanyaku polos. “ Oh iya, mbak memang baru buka jam 5, yaudah nggak apa-apa langsung masuk aja, tadi aku udah notify koq sama orang di depan“ jawab Mbak Tini santai. 

Hah?Baru buka jam 5 sore? Aku melihat jam tanganku, baru menunjukkan pukul 14.45. Jam 5 sore aja baru buka, berarti rame orangnya sekitar abis Maghrib dong? Pikirku. Jujur aja, aku nggak enak sama Bang Ibon karena nggak mungkin motret suasana di keadaan tempat yang belum buka. Sementara kalau untuk nunggu sampai rame, wasting time juga. Belum lagi kalau Bang Ibon dapat telpon dadakan dari kantor untuk mengejar liputan lainnya. Meminjam judul lagunya Bondan feat Fade 2 Black, aku bergumam dalam hati, ya sudahlah. Terlanjur basah (kali ini lagunya Alm.Meggy Z) udah nyampe disini, yaa..hadapi sajalah.

“ Baru buka jam 5 sore bang ternyata “ kataku memecah keheningan. “ Hah?terus gimana?apa yang difoto nih? “ tanya bang Ibon. “ Udah liat nanti aja di dalam, paling foto makanan sama setting aja “ jawabku. Aku dan Bang Ibon turun dari mobil. Di halaman tempat itu tidak ada siapa-siapa kecuali seorang lelaki setengah baya yang sedang membersihkan dedaunan. Segera aku sapa. “ Pak, maaf permisi, saya mau ketemu dengan Mbak Tini, tadi udah janji, kami dari koran rajawali biru, Pak “ “ Oh, kalau gitu masuk dari pintu samping aja, mari saya tunjukkan “ katanya ramah.  

Kami berdua mengikuti si Bapak dari belakang. Yang tampak hanya ruangan kosong berukuran cukup luas. Dekorasinya mewah sih dengan mengaplikasikan gaya Victorian yang klasik dan elegan tapi karena keadannya kosong melompong, rasanya jadi aneh aja berada di tempat itu. Ruangan luas itu terbagi lagi ke beberapa ruang lainnya, semacam ruang meeting.Kami dipersilakan menunggu di salah satu ruangan. Dilihat dari jumlah kursinya, ruangan ini bisa menampung sekitar 6 – 8 orang. Lengkap dengan kamar mandi dan pendingin ruangan yang saat aku berkunjung kesana sama sekali tidak terasa semriwing dinginnya (gara-gara baru buka jam 5 kali ya). Alhasil meski ruangan itu terkesan mewah serta artistik, aku agak pengap dan kegerahan juga. Untung saja ada sebuah kaca Victoria berukuran besar yang terpasang di salah satu sisinya sehingga memberi kesan yang lebih lega. 

Tak beberapa lama menunggu, seorang wanita menemui kami. Dialah Mbak Tini yang tadi ku telepon. “ Hai, apa kabar? Aku Tini “ sapanya ramah. Kami pun membalasnya singkat. “ Gimana tadi sempat nyasar nggak ? “ tanyanya basa basi. “ Iya, Mbak. Tadi sempat muter-muter. Emang banyak yang nyasar ya kalau mau kesini ? “ sindirku. Dengan nada bangga, Mbak Tini pun berujar, “ Oh,iya banyak juga yang nyasar, Mbak. Mungkin karena letaknya agak terpencil kali ya, eksklusif, jadi suka nggak kelihatan dari luar. Biasanya sih kalau malam dipasang semacam lampu natal jadi orang ngeh “ katanya. Wew..sebenernya sih tempat ini letaknya di pinggir jalan raya yang gampang banget dijangkau tapi sayangnya papan nama Punux ditaruh membelakangi mobil-mobil yang jalan searah jalur dengannya. Ditambah lagi, warna dari papan tersebut juga tidak eye catching sehingga wajarlah banyak orang yang nyasar dulu sebelum sampai kesini (kecuali yang sering nongkrong disini loh ya). 

Selesai dengan obrolan basa-basi itu, aku pun mulai mewawancarai Mbak Tini. Sementara Bang Ibon hanya nimbrung saja tanpa melakukan tugasnya sebagai fotografer, tepatnya lebih banyak diam bak patung. Suaranya mulai terdengar kembali saat aku bertanya soal harga paket photo shot disini. Mbak Tini mengatakan harga sewa tempat untuk pre wedding photo shot misalnya, per jam dikenakan biaya Rp.1 juta. “ Hah?Disini 1 juta Mbak per jamnya? “ tanya Bang Ibon setengah kaget. “ Iya sudah termasuk ruang ganti “ jawab Mbak Tini. Bang Ibon hanya senyum-senyum saja, tapi senyumnya menyiratkan sesuatu, yah apalagi kalau bukan harga sewanya yang kemahalan (untuk ukuran tempat yang nggak gitu bagus kaya gini). 

Aku lantas melanjutkan wawancaraku. Dari wawancara itu aku baru tahu bahwa tempat ini dulunya adalah bekas klub & lounge yang cukup terkenal dikalangan dugemers (sebutanku untuk mereka yang doyan dugem.hehehe). “ Owner-nya sama tapi konsep tempatnya aja yang agak berubah, lebih elegan dan klasik “ kata Mbak Tini menjelaskan. Apa sih konsep barunya? “ Kalau sekarang lebih pada venue, lounge, and dining. Jadi, kami menyewakan tempat yang bisa digunakan untuk segala occasion, kebanyakan sih private party “ lanjut wanita berbulu tangan lebat ini. Private party ini emang lagi happening banget terutama di kalangan artis dan pejabat. Nggak heran deh kalau akhirnya sekarang banyak bermunculan tempat-tempat kaya gini. 

Mbak Tini kemudian menjawab panjang lebar pertanyaan-pertanyaanku tentang si Punux. Nah, ada yang menarik ketika aku tanyakan soal waktu operasional. Begini jawabannya, “ Kami buka hanya 4 hari dalam seminggu dari hari Rabu hingga Sabtu, dari jam 5 sore sampai jam 1 pagi, kalau weekend ya bisa lebih dari itu tutupnya “ tutur Mbak Tini. Mendengar jawaban itu, lagi-lagi Bang Ibon buka suara. “ Sekarang hari Senin berarti tempat ini tutup dong ya, Mbak? “ tanyanya lugas. “ Iya kalau sekarang tutup, cuma office-nya aja yang masuk “ kata Mbak Tini polos. Aku lebih shock lagi. Duh, bisa-bisanya ketemu humas model begini yang nggak ngerti kebutuhan liputan media. Gimana aku bisa wawancara pengunjungnya kalau tempatnya tutup? Gimana aku bisa lihat crowd-nya? Terlebih aku juga semakin nggak enak ngajak Bang Ibon karena percuma aja, ngga ada momen atau aktivitas yang bisa dijepret. Akhirnya, mungkin karena Bang Ibon emosi, dia langsung minta dokumentasi dari sang humas. “ Mba, kalau gini ceritanya, aku minta dokumentasi dari sini aja bisa, nggak? Soalnya percuma, nggak ada aktivitas disini, gambarya bakal mati “ terang Bang Ibon. “ Hmm..gimana ya, dokumentasinya semua ada di bosku, sekarang beliau masih di Hongkong, apa nggak diambil aja gambarnya sekalian? “ ujar Mbak Tini setengah memaksa. Pfiuuhh..karena ‘dipaksa’, Bang Ibon pun jadi terpaksa menjepret seadanya saja, yahh..paling cocok untuk rubrik interior. 

Menghadapi kenyataan itu (halaahh..lebay nih bahasanya..hehe), aku jadi kepikiran juga dengan halamanku. Gimana nih kalau nggak ada foto yang bagus?Wah, bisa abis diomelin redaktur deh (di koran rajawali biru, khususnya rubrik yang aku pegang, visualisasi berupa foto merupakan hal yang sangat penting untuk menarik pembaca dan tentu saja, pengiklan). Mereka nggak pegang langsung dokumentasi lagi. Gimana ya? Sedangkan untuk me-rescheduled liputan ini lagi, aku, terlebih Bang Ibon, sudah sangat malas. Aku kemudian coba merayu-rayu agar bisa mendapatkan dokumentasi darinya. Di tengah rayuan gombalku, si Mbak Tini iseng nanya, “ Kira-kira dimuatnya berapa halaman ya liputan ini? “, Bang Ibon spontan jawab, “ Wah, bisa 1 halaman, Mbak. Malah bisa jadi 2 halaman juga, yaa..paling dikitnya, tiga perempat halaman, ya kan, Fir ? “ Aku yang merasa ‘tertodong’ hanya bisa mesam mesem dan berkata, “ Iya “. Eh, tak disangka respon Mbak Tini sungguh mengejutkan. “ Wah, bener nih?Kalau gitu, aku ada koq foto-fotonya, nanti aku kirim “ katanya berapi-api. Kontan saja aku dan Bang Ibon bengong. Lah, tadi katanya dokumentasi semuanya ada di Pak Bos yang lagi ke Hongkong, giliran dikasih tau bisa dimuat minimal ¾ halaman, jawabannya berubah drastis. Hadeuhh..ini orang udah berapa lama jadi humas sih?eror bener. Benarlah pernyataan seorang kawan bahwa publikasi media dengan tujuan narsis menjadi hal prestis dan bombastis. 

Well, nggak lama-lama lagi, kami berdua langsung pamit. Selain dilanda lapar yang teramat sangat, kami juga udah kehilangan mood di tempat ini. “ Kacau deh tu humas. Kamu gimana sih janjiannya pas tempat tutup ? “ cetus Bang Ibon ketika kami kembali ke mobil. “ Aku juga nggak tahu kalau bukanya cuma 4 hari doang, lagian dia yang janjiin buat liputan hari ini, sorry deh Bang “ jawabku cuek. “ Yowislah sekarang kita cabut aja, Pak “ kata Bang Ibon pada Pak Hamid. “ Kita langsung balik kantor atau gimana ? “ tanya Pak Hamid. “ Kita balik kantor sekalian kalau nemu warung makan, kita makanlah. Aku lapar nih pengen makan “ ucap Bang Ibon. 

Pak Hamid langsung mengarahkan laju mobil ke arah kantor di bilangan Kebon Sirih. Di tengah perjalanan, tak jauh dari Punux, kami mampir ke restoran Soto Kudus Blok M. Aku pesan seporsi soto kudus daging ayam + nasi putih, minumnya air putih dan segelas jus alpukat. Hmm..terasa nikmat sekali (mungkin gara-gara kelaparan akut yang melanda). Lebih nikmat lagi, aku tak membayar sepeserpun alias gratis. Pasalnya, sudah ada Bang Ibon yang traktir..hehe..

Total semuanya hampir seratus ribu rupiah. Aku jadi mikir, kalau harga 3 porsi soto kudus plus minumnya aja mencapai seratus ribu, apalagi menu makanan yang tersedia di tempat macam Punux ya, pasti mahal banget. Mungkin, gara-gara mahalnya itu tadi, si humas berbulu tangan lebat itu memilih jadwal liputan saat tempatnya tutup. Khawatir ‘rugi bandar’ jika harus ‘menjamu’ kami. Hehehe..Iyalah, prinsip ekonomi itu mesti ditegakkan bila ingin bisnisnya sukses dan tampaknya prinsip itu sudah diterapkan di Punux. Tinggal satu aja sih harapanku, semoga benar-benar sukses deh..amin..