Jumat, 24 Juli 2009

I Just Wanna Be Happy With Him, Enough..

Hampir setahun berlalu saat-saat dimana aku berjuang keras merampungkan skripsiku. Masih terekam dalam ingatanku bagaimana aku harus datang jam 7 malam hanya untuk minta tanda tangan dosen pembimbing. Ketika itu hujan turun cukup deras.Payung, alat yang harusnya jadi pelindungku, selalu luput dari perhatianku manakala aku sangat sadar bahwa awan mendung bergelayut tepat diatas kepalaku.

Bodoh memang. Yaa, dan karena kebodohanku itu, aku harus jalan kaki ujan-ujanan dari kolong Karet hingga Sudirman Park. Kebetulan juga kondisi jalanan macet total gara-gara banjir. Tak mungkin aku memaksa naek angkot, bemo, atau ojek saat jarum jam menunjukkan pukul 18.45 dan keadaan lalu lintas lagi kacau-kacaunya. Dosenku super sibuk dan beliau tak suka mahasiswa bimbingannya datang terlambat karena (katanya) menunggu adalah pembuangan waktu secara sia-sia. Alhasil, aku andalkan saja dua kaki ciptaanNya yang maha sempurna ini untuk sampai di tujuan dengan selamat dan tepat waktu. Hupff.. ternyata lumayan juga pegelnya.

Kebayang dong tampilanku waktu itu, persis kaya tikus kecebur got. Bodo amat deh. Demi skripsi, pikirku. Tapi apa yang terjadi ketika aku baru bisa melihat handphone-ku dan ada 1 SMS masuk. Dosenku. "Firda, maaf ya sepertinya saya tidak bisa datang ke LSPR malam ini karena terjebak macet di warung buncit.Mengenai tanda tangan saya, kamu bisa ketemu saya besok di UI dari jam 10 pagi.trims." DAMNED!!!!!!!!Ga jadi datengg????Macet di Warung Buncit?????Ke UI???Besok???Jam 10????Hhhhhh..ampuuunnnnnnn.....

Jadi, pengorbananku sia-sia gituu??Bela-belain jalan kaki biar gak telat ternyata ga jadi aja ketemuannya?Dan ironisnya hanya untuk minta tanda tangan???Oh, My God!!Hh..campur aduk tuh rasanya pas tahu kenyataan yang terjadi. Ya kesel, marah, dongkol, bete. Pengen nangis banget tapi gak ada siapa-siapa didekatku, gak ada yang minjemin bahunya, gak asik ah. Aku berusaha menenangkan emosi jiwaku.

Hal pertama yang aku lakukan, minum sebotol air putih. Pengennya sih segalon aja biar sekalian kembung dan kemarahan mereda. Tapi apa daya, galonnya tak tersedia jika hanya akan diminum satu orang mungil sepertiku.

Perlahan aku coba mengatur nafas dan memutuskan apa yang selanjutnya aku lakukan, langsung pulang-kah ditengah gerimis mengundang dan jalanan sedang macet-macetnya?Atau tetap di sofa kantin sambil menunggu jalanan kembali lancar?Atau bagaimana?Aku mengamati sekeliling dan pandanganku lalu tertuju pada gedung menjulang didepan jendela. Di luar sana tertulis sebuah nama. Bisnis Indonesia.

Ya, disana, tepat 8 bulan lalu, aku memulai begitu banyak cerita. Berawal dari tugas mata kuliah Internship, aku terdampar di lantai 7 perusahaan media milik Soebronto Laras itu. Ketika itu, Rahmayulis Saleh, atau kerap disapa Bunda, menjadi atasanku. Dan aku resmi menjadi mahasiswa magang di bagian sekretariat Redaksi. Tapi, lebih dari itu, aku merasa menjadi seorang pecundang.Keberadaanku disana selain karena andil besar ayahku dan juga keterpaksaan, kreativitasku sebagai mahasiswa jurnalistik hampir dimatikan oleh segudang tugas-tugas administrasi yang jauh dari ilmu yang kudapat.

Idealisme-ku kala itu masih berada di angka 9 dalam diriku. I like writing and i wanna be a journalist. Itu kemauanku, itu pilihanku. Aku berada pada sebuah perusahaan media massa tapi aku ada didalamnya bukan untuk belajar bagaimana menjadi jurnalis melainkan hanya mengerjakan tugas administrasi ringan dan belajar teknik fotokopi. Its very sad to me.

Hmm..tapi rupanya aku diberikan kecerdasan yang lain. Bukan maksud buat narsis, tapi aku yakin, setiap orang yang perfeksionis sekaligus idealis seperti diriku tak akan mudah menerima suatu hal diluar batas 'sempurna' dan 'ideal'itu sendiri, dan aku mampu. Dari sisi nalar religiusku, aku bisa berkata bahwa 'apapun bentuknya, sempurna atau tidak, ideal atau tidak, semua yang aku alami adalah baik menurutNya".

Sempurna buatku tentu lain buatNya. Ideal menurutku pasti berbeda dengan ideal menurutNya. Maka, pantaslah aku untuk berkaca pada diriku, mengakui bahwa aku memang jauh dari sempurna. Kayanya kok aku malu sendiri, masa aku yang jauh dari sempurna ini belagu bener kepengen dapetin segala sesuatu yang sempurna. Dari situ, aku yang tadinya bertekad bulat mengundurkan diri di hari ke-3 akhirnya berubah pikiran dan mulai menjalani hari-hariku di lantai 7 dengan semangat 'ketidaksempurnaan' yang aku bawa.

Eehh..manjur juga ternyata strategi perombakan cara pandang yang aku lakukan sampai-sampai aku seolah tak rela meninggalkan tempat itu ketika masa internship-ku habis. Semua seakan berbalik. Aku yang tadinya merasa terpaksa berubah jadi aku ingin tetap ada disana. "it would be different without you" begitu kata seorang teman. Dan, tentu..i feel the same with you. It would be different.But life must go on. Aku harus meninggalkan rutinitasku disana. Akan ada rindu dan selalu ada rindu di hatiku untuk Bisnis Indonesia.

Ah..kenapa aku jadi melow sih?Cepat sekali rasa dalam hatiku berubah, dari marah jadi melow, udah kaya channel TV aja yang bisa setiap saat di-switch. Tapi, bagus juga rasa kesalku jadi hilang seketika dan aku bisa kembali berpikir dengan jernih bak sebotol air putih yang baru saja kuteguk. Aku melirik jarum jam ditanganku. 20.15. Wah, sudah cukup larut. Dan itu artinya aku harus segera kembali ke rumah. Aku bergegas menuju jalan raya. Wow, masih saja macet. Otakku berpikir, jika aku paksakan pulang naik bis, bisa-bisa sampai dirumah lebih dari jam 10 malam.

Aku harus cari akal. Ahaa..tiba-tiba aku teringat seorang temanku di Bisnis dulu. Harry namanya. Aku merencanakan sesuatu. NEBENG. Yups..karena kebetulan rumahku dan rumahnya berada di kawasan yang sama. Dia pasti tak akan tega membiarkan cewek imut ini pulang sendirian bermacet-macet ria dalam bis. Aku menghubunginya dan ia berkata, "Ya udah, ya udah gue jemput sekarang, lo tunggu aja di depan". Tuh kan kubilang juga apa, ia tak akan tega. Hehehhe..

Jadilah aku pulang bersama beruangmadu - nickname Harry di ruang chat -. Diatas motor kami saling berbagi cerita. Sudah pasti aku bercerita tentang kejadian yang baru 2 jam kualami tadi. Sedangkan Harry bercerita tentang cewek baru kecengannya. Ditengah-tengah obrolan, Harry melontarkan candaan, " Fir, lo tuh maunya cowok yang berprofesi apa sih?Market analis yang kece ini ditolak, wartawan kaya mas Bambang juga sama aja, mahasiswa apalagi, jadi yang macam mana??Cari pacar sono biar ada yang nganterin!" Spontan kubalas ledekan Harry tadi, "Yee..bukan masalah profesi har, masalah hati nih.Ribet jadinya. Tapi kalo lo tanya soal profesi yang kaya gimana, i think journalist sexier than others",

"Lah, itu mas Bambang??", "Kan gw bilang, ini urusan hati, gak bisa ditebak maunya. Gw suka mas Bambang secara personal dan profesional, but no chemistry with him, so??" "Ah, bilang aja lo kebanyakan maunya, jangan gitu loh nanti ga laku-laku!" "Bukan banyak maunya, gue gak bisa maen-maen soal beginian, jadi mendingan nunggu daripada salah lagi" Eh, Harry malah ketawaketiwi aja tuh denger jawabanku, dia menganggap aku nggak bisa santai menjalani hidup, terlalu banyak mikir padahal didepan mata banyak yang sayang padaku, tinggal pilih salah satu aja susah banget.

"Wartawan Bisnis yang laen kan masih banyak tu stoknya, screening aja dulu" Jiahh..SCREENING??Hahahhaa..dikira ujian kali pake dibegituin. "Ogah ah, wartawan Bisnis potongannya sama semua" kataku dengan cueknya. "wah..jangan disamain dong, ntar kecantol salah satunya baru deh lo tau rasa!hahahhaha"balas Harry menutup obrolan kami malam itu.

Pertemuanku kini dengan seorang wartawan Bisnis Indonesia yang kemudian menjadi kekasihku mengingatkan aku pada candaan Harry menjelang pertengahan tahun 2008 lalu itu."Kecantol salah satunya". Aku tak percaya tentang adanya mitos kebetulan atau apa yang disebut "kemakan omongan", tapi aku percaya itulah jalan yang memang sudah direncanakanNya, ia dihadirkan pada saat yang pas juga dengan cara yang tepat.

Pada akhirnya aku memang bisa melepas jubah kesempurnaan itu dan mendapatkan sosok yang aku cari. Tentunya, aku tak lagi mencari sempurna, tapi aku mencari bahagia. Kutemukan itu saat bersamanya. Dan, jika kala itu aku mampu berjalan kaki ujan-ujanan dari Karet ke Sudirman Park hanya untuk sebuah tanda tangan dosenku, maka kini aku pasti mampu berjuang untuk sesuatu yang aku yakini, berjuang untuk cinta yang memang sudah sepantasnya diperjuangkan.

Wah, bener juga tuh kuis di Facebook tadi, dari ke sembilan tipe Enneagram manusia, katanya aku termasuk ke dalam tipe pejuang. Wah..wah..cocok dikirim ke Palestina nih..Tapi nggak ah, cukuplah bagiku dikirim ke hati seseorang untuk jadi pejuang cintanya.Once more, i just wanna be happy with him, enough..