Pagi itu, 06 Agustus 2006, seperti biasanya aku keluar teras menghirup udara pagi seraya menyapa kucingku, Dora. Namun, ada yang tak biasa, karena aku tak melihat Dora di atas akuarium, tempat favoritnya menghabiskan malam. Aku mencarinya tapi tak juga kutemukan, ku panggil namanya, tetap ia tak kunjung muncul. Aku mulai panik dan khawatir mengingat ia sudah kuanggap sebagai sahabat terbaikku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, Dora sedang hamil. Yaa..mungkin ia sedang melahirkan di suatu tempat, pikirku. Aku lantas berlari menuju gang samping rumahku karena seingatku, aku pernah menunjukkan tempat ini pada Dora. Benar saja, kulihat Dora ada disana, menyempil diantara kardus bekas dan tumpukan karung beras. Wajahnya menatap ke arahku seolah ingin menyapa. Aku belai bulu halusnya dan seketika dari bawah perutnya, perlahan nampak 2 makhluk kecil tertidur pulas. Ternyata benar dugaanku, Dora kini punya 2 bayi lucu. Salah satu warna bayinya adalah putih kombinasi hitam, sementara satunya berwarna hitam kombinasi kuning. Langsung saja kuberi nama, yang putih adalah Michi dan yang hitam adalah Lili.
Aku sempat khawatir dengan mata kedua bayi kucing itu mengingat salah satu mata Dora cacat. Aku khawatir cacat itu akan turun pada bayinya, tapi syukurlah itu tak terjadi. Dora adalah satu-satunya kucingku yang mengalami cacat pada matanya. Salah satu matanya hilang atau banyak orang bilang ‘pice’ , seringkali aku disuruh membuang kucing yang banyak dianggap jelek oleh teman-teman dan orangtuaku ini, tapi aku tak mau karena aku sangat menyayanginya. Binatang ini adalah sahabat yang selalu setia menemani dan menghiburku kala aku sedih. Mungkin hal ini terdengar aneh dan ‘lebai’ bagi sebagian orang dimana aku bisa begitu sayangnya pada mereka dan bahkan memperlakukan mereka layaknya manusia, tapi itulah aku, sang pecinta binatang (khususnya kucing), yang perasaanku hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga pecinta binatang.
Michi dan Lili terlahir sempurna, bahkan sangat manis wajahnya. Meskipun hanya kucing kampung, bulunya begitu indah dan lebat. Keduanya memiliki jenis kelamin dan karakter yang berbeda. Lili betina, Michi seekor jantan. Lili, walaupun betina, ia sangat pemberani dan tak canggung bermain dengan manusia. Hal sebaliknya justru terjadi pada Michi yang berjenis kelamin jantan. Ia sangat penakut dan selalu menghindar jika ada yang ingin menyentuhnya. Sifatnya ini sangat merepotkanku terutama saat banjir besar di akhir tahun 2006 melanda komplek perumahanku. Tindakan pertama yang kulakukan kala air sudah mulai masuk teras rumahku adalah menyelamatkan ketiga kucingku dengan membawa mereka ke lantai 2 rumahku. Aku tidak kesulitan saat harus menggendong Dora dan Lili, tapi aku sangat kewalahan menghadapi Michi yang sangat ketakutan melihat air. Alhasil, aku harus bersabar dan menggunakan cara lain untuk menangkapnya, dan syukurlah, Michi bisa kuselamatkan.
Lama kelamaan, Michi dan Lili tumbuh menjadi kucing-kucing dewasa. Mereka sudah bisa mencari makan sendiri kala Dora tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Anehnya, jika Lili biasa berkeliling dan jalan-jalan, Michi sangat betah di teras rumah. Dia sangat jarang keliling-keliling keluar rumah dan selalu menungguku untuk memberinya makan. Pernah suatu kali, Michi tidak ada di sekitar teras rumahku, aku sangat cemas karena ia tak kunjung kembali hingga sore hari. Aku menangis karena kupikir Michi telah hilang. Aku sedih mengingat kebersamaanku, dia, dan juga Lili. Aku sudah kehilangan Dora dan aku tak ingin itu terjadi pada Michi. Aku terus berdoa agar Michi kembali, tiba-tiba saja pas Magrib menjelang, Michi mengeluarkan suaranya, aku menghambur keluar dan menangis dihadapannya. Sejak kejadian itu, Michi semakin betah di teras rumah, tak pernah keluar kemana-mana kecuali jika pagi ia ingin menjemur bulunya.
Michi menjelma menjadi seekor kucing yang mengesankan hatiku, apalagi setelah Lili mati. Ia menjadi binatang yang selalu aku ajak bermain dan bercanda saat aku merasa kesepian. Tingkahnya selalu saja membuatku tersenyum. Ia seolah mengerti apa yang aku ucap dan rasakan. Bahkan, ia menjadi salah satu motivasiku dalam mencari kerja. Aku ingin bisa memberinya makanan enak setiap hari, ingin selalu memberi makanan favoritnya (mi goreng) dan juga baju khusus kucing. Jika aku sedang berada di luar kota, aku pun selalu mengingatkan orang rumah umtuk memperhatikannya. Tak luput, ia beserta kucing-kucing yang pernah kumiliki, hadir di setiap doaku, aku ingin, mereka tetap menjadi sahabatku di akhirat nanti. Amin..
Aku sempat khawatir dengan mata kedua bayi kucing itu mengingat salah satu mata Dora cacat. Aku khawatir cacat itu akan turun pada bayinya, tapi syukurlah itu tak terjadi. Dora adalah satu-satunya kucingku yang mengalami cacat pada matanya. Salah satu matanya hilang atau banyak orang bilang ‘pice’ , seringkali aku disuruh membuang kucing yang banyak dianggap jelek oleh teman-teman dan orangtuaku ini, tapi aku tak mau karena aku sangat menyayanginya. Binatang ini adalah sahabat yang selalu setia menemani dan menghiburku kala aku sedih. Mungkin hal ini terdengar aneh dan ‘lebai’ bagi sebagian orang dimana aku bisa begitu sayangnya pada mereka dan bahkan memperlakukan mereka layaknya manusia, tapi itulah aku, sang pecinta binatang (khususnya kucing), yang perasaanku hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga pecinta binatang.
Michi dan Lili terlahir sempurna, bahkan sangat manis wajahnya. Meskipun hanya kucing kampung, bulunya begitu indah dan lebat. Keduanya memiliki jenis kelamin dan karakter yang berbeda. Lili betina, Michi seekor jantan. Lili, walaupun betina, ia sangat pemberani dan tak canggung bermain dengan manusia. Hal sebaliknya justru terjadi pada Michi yang berjenis kelamin jantan. Ia sangat penakut dan selalu menghindar jika ada yang ingin menyentuhnya. Sifatnya ini sangat merepotkanku terutama saat banjir besar di akhir tahun 2006 melanda komplek perumahanku. Tindakan pertama yang kulakukan kala air sudah mulai masuk teras rumahku adalah menyelamatkan ketiga kucingku dengan membawa mereka ke lantai 2 rumahku. Aku tidak kesulitan saat harus menggendong Dora dan Lili, tapi aku sangat kewalahan menghadapi Michi yang sangat ketakutan melihat air. Alhasil, aku harus bersabar dan menggunakan cara lain untuk menangkapnya, dan syukurlah, Michi bisa kuselamatkan.
Lama kelamaan, Michi dan Lili tumbuh menjadi kucing-kucing dewasa. Mereka sudah bisa mencari makan sendiri kala Dora tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Anehnya, jika Lili biasa berkeliling dan jalan-jalan, Michi sangat betah di teras rumah. Dia sangat jarang keliling-keliling keluar rumah dan selalu menungguku untuk memberinya makan. Pernah suatu kali, Michi tidak ada di sekitar teras rumahku, aku sangat cemas karena ia tak kunjung kembali hingga sore hari. Aku menangis karena kupikir Michi telah hilang. Aku sedih mengingat kebersamaanku, dia, dan juga Lili. Aku sudah kehilangan Dora dan aku tak ingin itu terjadi pada Michi. Aku terus berdoa agar Michi kembali, tiba-tiba saja pas Magrib menjelang, Michi mengeluarkan suaranya, aku menghambur keluar dan menangis dihadapannya. Sejak kejadian itu, Michi semakin betah di teras rumah, tak pernah keluar kemana-mana kecuali jika pagi ia ingin menjemur bulunya.
Michi menjelma menjadi seekor kucing yang mengesankan hatiku, apalagi setelah Lili mati. Ia menjadi binatang yang selalu aku ajak bermain dan bercanda saat aku merasa kesepian. Tingkahnya selalu saja membuatku tersenyum. Ia seolah mengerti apa yang aku ucap dan rasakan. Bahkan, ia menjadi salah satu motivasiku dalam mencari kerja. Aku ingin bisa memberinya makanan enak setiap hari, ingin selalu memberi makanan favoritnya (mi goreng) dan juga baju khusus kucing. Jika aku sedang berada di luar kota, aku pun selalu mengingatkan orang rumah umtuk memperhatikannya. Tak luput, ia beserta kucing-kucing yang pernah kumiliki, hadir di setiap doaku, aku ingin, mereka tetap menjadi sahabatku di akhirat nanti. Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar