Selasa, 22 Juni 2010

Gli Azzurri & Mitos Keberuntungan..

Emosiku seketika meledak saat menyaksikan babak penyisihan Piala Dunia 2010 Afrika Selatan di Grup F antara Italia melawan Selandia Baru, kemarin malam (20/6). Betapa tidak, pertandingan baru beberapa menit dimulai Italia –juara dunia 4 kali- sudah kecolongan gol akibat tendangan striker Selandia Baru, Shane Smeltz ke gawang yang dijaga kiper pemula Federico Marchetti. Huuuuuhhhhh..sebagai tiffosi setia aku cukup kesal sekaligus mengamini keraguan banyak orang terhadap performa juara dunia tahun 2006 itu. Italia tak lagi solid sebagai tim yang menganut tradisi sepak bola bertahan alias catenaccio, lansir beberapa media olahraga asing. 

Bersamaan dengan itu, handphone-ku kebanjiran SMS berisi ejekan terhadap Gli Azzurri, pun hal-nya dengan halaman Facebook-ku yang juga kebanjiran ejekan dari postingan komentar teman-teman. Yaa..aku tak peduli. Bagiku, Italia tetap nomor satu di hati. (ceileeee…). Sedang asyiknya aku me-reply comment, tiba-tiba aku dikejutkan dengan aksi Tommy Smith yang menjatuhkan Danielle de Rossi di area terlarang sehingga menyebabkan wasit Carlos Batres (asal Guatemala) menghadiahkan penalti bagi Italia. Vincenzo Iaquinta yang mendapat tugas tersebut pun berhasil mengecoh kiper nomor 1 Selandia Baru, Mark Paston dan kedudukan imbang 1-1. Lewat penalti inilah, kepercayaan diri Fabio Cannavaro dkk mulai bangkit kembali dengan menggencarkan serangan ke gawang Selandia Baru. Aku sebagai penonton juga ikut bersemangat, optimis bahwa Italia pasti mampu. 

Memasuki babak kedua, sang allenatore Marcello Lippi merombak susunan pemain terutama di lini tengah dengan memasukkan Mauro Camoranessi dan Antonio di Natale menggantikan Simone Pepe dan Alberto Gilardino yang tidak bisa menjalankan perannya dengan baik. Masuknya 2 pemain senior ini cukup memberi warna pada ritme permainan Italia yang membosankan di babak pertama. Bersama Riccardo Montolivo, duo playmaker ini berkali-kali mengancam gawang lawan. Namun, apa daya..skor tidak berubah hingga akhir pertandingan. 

Hasil imbang ini sekaligus membuat sang juara bertahan berada diujung tanduk. Mau tidak mau, di laga pamungkas melawan Slovakia, Italia harus meraih poin penuh jika ingin terus melaju ke babak 16 besar. Sebenarnya ada apa denganmu, gli azzurri? Menilik dari pertandingan tadi malam, (meski aku bukan seorang pakar, -hanya pecinta bola-) aku mencatat beberapa poin penting. Pertama, skuad Italia yang dibawa Lippi pada Piala Dunia kali ini berbeda dengan 2006 lalu di Jerman dimana saat itu Italia diperkuat bintang-bintang jaminan juara seperti Francesco Totti, Andrea Pirlo, Alessandro del Piero, Filippo Inzaghi, Alessandro Nesta, Marco Materazzi, Genarro Gattuso, dan lain-lain. Sungguh jauh berbeda dengan sekarang yang lebih banyak diisi pemain-pemain muda minim pengalaman di kancah internasional. 

Masalah kedua yang dihadapi Italia adalah tidak maksimalnya penampilan Buffon akibat cedera punggung yang dideritanya. Pada pertandingan penyisihan pertama Grup F melawan Paraguay, Buffon masih berada di bawah mistar gawang hingga hampir babak kedua usai sebelum akhirnya tumbang dan tidak kuat lagi bermain. Alhasil, Buffon harus menjalani pemulihan selama kurun waktu yang tidak ditentukan dan hampir bisa dipastikan absen pada sisa pertandingan piala dunia. Sebenarnya, jika Lippi masih memiliki cadangan kiper sekelas Buffon, tentu cederanya kiper terbaik dunia versi federasi internasional sejarah dan statistik sepak bola (IFFHS) ini tidak akan menjadi masalah besar dikubu Italia. 

Problem yang dihadapi negeri pizza ini semakin pelik dengan mandulnya barisan depan yang diisi pemain-pemain muda seperti Antonio Di Natale, Alberto Gilardino, Vincenzo Iaquinta, Giampaolo Pazzini, dan Fabio Quagliarella. Kualitas mereka belum bisa menyamai seniornya sekelas Alessandro del Piero, Filippo Inzaghi, dan Franscesco Totti. Demikian hal-nya di sektor gelandang. Meski Montolivo digadang sebagai titisan Pirlo, kelasnya masih jauh dibawah pendahulunya itu. 

Wajar saja jika pada akhirnya Italia mendapat cibiran, ejekan, maupun kecaman dari seluruh dunia. “ Masa juara dunia cuma bisa dapet hasil seri sih, di babak penyisihan lagi, dengan lawan tim-tim non unggulan pula “ ujar seorang teman. Emang susah ya menjaga nama besar dan reputasi?Hehehe..Nggak sadar juga kali tuh yang ngomong kalau bola itu bundar, kalau dalam sebuah pertandingan harus ada yang menang dan kalah, kalau dalam sebuah turnamen itu apa aja bisa terjadi?Semua menginginkan proses dan hasil yang sempurna bagi sang juara padahal kan, nggak melulu juara tetap jadi juara dan pecundang tak bisa jadi juara, ya kan?Italia kini disebut sebagai tim pecundang yang mengemis pada wasit gara-gara penalti di laga melawan anak-anak asuhan Rikky Herbert itu. Italia dikecam karena hanya bisa mencetak gol lewat penalti. Italia become a loser, umpat banyak orang.

Sebagai pecinta sepakbola Italy, aku cukup ‘panas’ mendengar kalimat itu. Terserah jika pemikiranku ini diartikan sebagai ‘pembelaan’ tapi bagiku, Italia adalah sebuah tim yang dinaugi banyak sekali keberuntungan. Mau orang lain memandang sebelah mata soal ‘faktor x’ yang satu ini?Aku tak ambil pusing. Nyatanya, mitos ‘keberuntungan’ atau ‘keajaiban’ atau apapunlah sebutan sejenis lainnya, terkadang menjadi suatu kunci kesuksesan sebuah tim menjadi juara. Lihat saja bagaimana Spanyol dan Jerman, 2 tim favorit juara, dikalahkan oleh tim-tim sekelas Swiss dan Serbia yang notabene-nya bukan lawan sepadan pada kualifikasi piala dunia tahun ini. Baik diatas kertas maupun kualitas pemain serta permainan, Spanyol dan Jerman memang layak diunggulkan. Tapi apa yang terjadi?Secara mengejutkan mereka dikalahkan lawan yang dianggap ‘tidak sepadan’ itu. Contoh lain ketika Lukas Podolski, bintang asal Jerman itu, tidak bisa menahan imbang Serbia karena gagal menyelesaikan hadiah penalti ke gawang yang dijaga Vladimir Stojkovic. Kenapa hanya Italia yang dicaci?Hmm..Mungkin karena banyak yang iri atas keberuntungan yang dimilikinya..hehehe..bisa jadi kan?. Italia tentu tidak lebih baik dari Jerman atau Spanyol tapi unggul dalam ‘the lucky factor’, setidaknya ia belum pernah kalah dibabak penyisihan. 

Terlepas dari semua problem yang dihadapi Italia di musim piala dunia kali ini, kayaknya yang namanya ‘the lucky factor’ mengambil peran cukup penting dalam sebuah pertandingan. Emang sih, untuk jadi juara Italia nggak bisa hanya mengandalkan si lucky itu tadi, mereka harus berbenah memperbaiki kualitas permainan. Nah, pembuktiannya ada pada laga pamungkas melawan Slovakia, 24 Juni mendatang. Jika Italia menang, apakah itu murni karena hadiah penalti (lagi) atau memang menunjukkan kualitasnya sebagai juara bertahan?Jika kalah, yaa..sekali lagi..tinggal tunggu keajaiban dari partai Paraguay kontra Selandia Baru tentunya.Apapun hasilnya, I still love you, gli azzurri..


















2 komentar:

The Philosophy of Lewotana mengatakan...

susah menjadi objektif ya....selamat jalan italia, tahun ini milik tango

FirdaPuriAgustine mengatakan...

whatever..setiap pecinta berhak mensubjektifkan sesuatu pada kecintaannya..sama seperti tiffosi yang selalu setia dengan gli azzurri-nya..