Minggu lalu aku kebagian jatah liputan di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Biasa, review soal bar & resto. Aku cukup bersemangat hari itu (tumbeeennnn…) karena tempat yang akan aku datangi, menurut referensi teman-teman sih, unik dan asik. Maka berangkatlah aku bersama fotografer, namanya Satria, kesana menggunakan fasilitas mobil kantor.
Sebenernya bukan letaknya yang sulit dijangkau (orang persis di depan Hotel Grand Flora koq) tapi karena nggak ada papan nama atau plang yang menandakan bahwa itu adalah tempat yang kumaksud, jadilah agak ribet tanya sana-sini. Iyalah..meski aku tahu pasti alamatnya bener tapi kalo nggak ada plangnya, yaa..aku juga jadi ragu-ragu. Jadi, biar nggak salah dan malu-maluin, baiknya tanya dulu deh.
Setelah dapat dipastikan, aku pun memasuki tempat itu. Hmm…cukup kagum juga aku melihat setingan interior yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang. Bayangin aja, sempet-sempetnya gitu kepikiran untuk bikin kursi dari krat bekas minuman ringan, lampu dari bekas botol bir, atau asbak dari kaleng softdrink. Udah gitu, uniknya lagi, bangunannya nggak tersusun dari tembok atau batu bata melainkan dari bekas 4 buah kontainer dijadiin satu. Wajar dong kalo aku jadi norak bin kagum?hehehe..Secaraa yaa di
Singkat cerita, aku disuruh menunggu terlebih dahulu oleh waitress disana sebelum bertemu dengan seseorang yang akan aku wawancarai (baca : Mbak Piar). Tak berapa lama muncul-lah seorang wanita berpenampilan seksi (teramat sangat :D), tak terlalu tinggi, dan berwajah cukup cantik.
” Hai, Mba Firda ya? “ sapanya ramah bahkan teramat sangat ramah (hampir lebay ramahnya). Aku pun hanya membalas sapaannya singkat sambil tersenyum. “ Kita mulai aja yuk interview-nya “ katanya dengan nada centil.
Jadilah aku mulai cerewet tuh tanya segala macem tentang tempat ini. Nah, lagi asyik-asyiknya ngobrol, nggak sengaja aku melihat suatu pemandangan yang tidak lazim. Bra (sorry..) Si Mbak Piar-nya tersingkap dibalik dress mini yang bagian atasnya terbuka sangat lebar. Opss..OMG! Ga cuma kesingkap separuh aja tapi juga hampir semua bagian dadanya habis kebuka. Kalo aku boleh nebak, ukuran bra-nya sekitar 36 B. Kebayang dong betapa somlehoy-nya wanita ini. Ckckckck..
Aku, meskipun sesama wanita, tetep aja merasa risih dan salah tingkah berada didepannya. Mau negor, aku nggak enak karena dia semangat banget ceritain tempatnya, nggak negor juga gimana.Aku hanya bisa mengisyaratkan ekspresi wajahku yang bingung. Tapi, bukannya suudzon nih ya, masa sih dia nggak ngerasa kalo baju bagian atasnya terbuka sangat sangat lebar? Nggak berasa gitu ada angin semriwing masuk ke dadanya?Yaudahlah ya mungkin dia emang beneran nggak sadar.
Aku pun coba kembali fokus dengan pertanyaan-pertanyaanku, masih dengan perasaan yang teramat risihnya. Di tengah obrolan, Si Mbak-nya ijin mau kedalem dulu, mau ambil sesuatu katanya. Dia pun beranjak dari sofa dengan kondisi baju bagian atasnya terbuka dan super minim dibagian bawah. Begitu dia pergi, Satria menghampiriku dan berkata,
“ Fir, itu cewek seksi banget ya?Sadar nggak sih dia kalo buah dadanya lagi jadi pusat perhatian? ” tanyanya.
Pikiran Satria nggak jauh beda sama pikiranku. Ku jawab santai, “ Nggak tau juga ya dia sadar apa nggak, tanya aja langsung sama orangnya “ celetukku.
Selang beberapa waktu, Si Mbak Piar kembali, kali ini dia agak merapihkan bajunya, yaa..mendingan sedikit deh, tapi giliran bagian bawahnya yang terangkat cukup ekstrim. Wah..wah..aku semakin tidak nyaman dengan itu, entah dengan Satria yang duduk persis didepannya (posisiku bersebelahan dengan Mbak Piar). Sejenak aku tetap berkonsentrasi dengan daftar pertanyaanku walau berasa risih banget. Kulirikkan mataku kearah Satria, tampak ia sedang asyik membidik kamera sambil sesekali mengintip paha mulus Si Mbak Piar.
Saat sedang berapi-apinya ia menjelaskan keunggulan tempat, ehh..baju bagian atasnya terbuka lagi..kali ini lebih syurrr… Aku berusaha kasih isyarat ke dia kalau bajunya terbuka tapi rupanya ia tak sadar atau pura-pura tak sadar. Udah deh aku semakin nggak nyaman aja dibuatnya. Buru-burulah aku menyelesaikan wawancaraku dan bergegas pergi dari tempat itu. (Giliran Satria deh menggerutu, “ Huhh..ngapain sih buru-buru banget?
Dalam perjalanan pulang, Satria kembali membahas soal kejadian tadi.
“ Fir, gila ya tu cewek, paraahhh abiss!Menurut lo dia ngerasa nggak sih kalo bra-nya nantangin? “ ujarnya.
Aku rada-rada bingung juga mau jawab apa. Dibilang nyadar tapi koq ngebiarin, dibilang nggak sadar juga mustahil.
“ Nggak tau deh nyadar apa nggak, mungkin nggak sadar kali “ jawabku.
“ Masa nggak nyadar sih, ah..rata-rata yang namanya PR (humas) emang gitu sih, mesti keliatan menarik, tapi yang ini sih, terlalu menarik, semok, seksi, aduhai, gile bener “ timpal Satria.
Sejenak aku merenungi celotehan Satria tentang profesi si Mbaknya sebagai PR sebuah bar & lounge. Apa iya seorang PR perusahaan(khususnya resto, bar, dan lounge) harus berpenamilan segitu seksi bin menariknya untuk men-treat tamu atau wartawan? Aku yang kebetulan kuliah di sekolahannya PR tentu saja mengelakkan pernyataanku sendiri. Tapi fakta di lapangan berkata lain. Sebagai seorang jurnalis, tentu saja aku selalu berhubungan dengan mereka berkaitan dengan berita yang mau aku tulis. Dan sebagian besar PR yang aku temui berpenampilan aduhai seksi somlehoy.
Berdasarkan pengetahuan yang aku dapat waktu kuliah, seorang PR memang wajib menjaga penampilannya karena ia membawa citra perusahaan. Dia yang ada di garda depan sebuah perusahaan, terlebih bila perusahaan itu kena masalah. Tapi pertanyaannya adalah haruskah yang namanya menjaga penampilan itu tadi diwujudkan dalam cara berpakaian yang menurutku berlebihan? Persepsi ‘seksi’ tiap orang kan beda-beda. Be sexy its ok dan aku setuju jika setiap wanita ingin tampil seksi sekaligus cantik. Bagiku, sexy is not bitchy.
Sebenernya nggak penting juga sih ngurusin Si Mbak-nya itu. Mau dia pake rok super mini atau baju yang cuma nyisain seperempat bagian buah dadanya juga terserah dia. Aku merasa kasihan aja sama Mbak-Mbak lainnya yang memiliki profesi serupa tapi menjaga penampilannya tetap sopan. Citra profesinya jadi tercemar cuma gara-gara satu atau beberapa orang PR yang nggak betah pake baju menutupi paha dan dada. Lihat aja gimana Satria berkomentar, profesi PR-nya kan yang dibawa-bawa?Aku tentu saja nggak mau menyalahkan Satria yang punya pendapat seperti itu, setiap orang kan berhak punya pendapat masing-masing. Mungkin juga dia (dan aku) udah terlalu sering menemukan PR yang modelnya begitu.
Selain kasihan sama citra profesi (harap maklum,lulusan almamater kampus PR terkenal), aku juga nggak kalah kasihan sama Si Mbak cantik itu. Tubuh mulusnya jadi komoditas pria-pria yang ia temui. Ya Satria, pegawai restonya, belum lagi kalau dia pergi ke tempat terbuka, wah..makin banyak aja deh yang menikmati keindahan tubuhnya.Hehe..
Mungkin dia merasa bangga bisa memamerkan body-nya yang membuat para pria menelan ludah sambil melotot itu. Mungkin juga dia senang mendapat pujian, “ Wah..dahsyat benar ya payudaramu “ atau, “ Wow, pahamu mulus banget ya “. Hmm..eh, tapi kira-kira dia bakalan senang juga nggak ya kalau ada cowok iseng yang bilang, “ Colek dikit ah, neng “ sambil nyenggol payudaranya?Kalau seneng, yaahh..mungkin dia bakal bilang, “ Boleh bang asal cukup ongkosnya “ hehe..mungkin loh..baru mungkinn.Nah, kalau dia nggak seneng dan malah marah, siap-siap aja dapet celetukan, “ Lah, jangan salahin kite dong, kan situ yang ngasih liat “ hehehe..
Yah..semoga Si Mbak Piar yang aku temui memang benar-benar tak menyadari kalau ‘aset’nya telah dikonsumsi setidaknya oleh 10 orang pria di dalam sana. Jika benar itu yang terjadi, maafkan aku juga ya Mbak karena isyarat mata dan ekspresi wajahku tidak mampu menyadarkanmu. Pun dengan bibirku yang tiba-tiba saja kelu disuguhi shock terapi macam itu.
“ Woiii Firr..udah nyampee..bengong aje lu! “ teriak Satria membuyarkan lamunanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar